Sabtu, 12 Maret 2016

hingga tau siapa diriku

“Kepada, Annisa kelas 9-a, harap menuju ke sanggar tari sekarang,” bunyi sound system memanggilku. Aku pun langsung pergi berjalan menuju kantor ditemani dengan Sarah, sahabatku yang selalu bersamaku.
“Cie, Nisa mau jadi penari loh..”
“Amiiin, semoga aja kali ini jadi.”
Setelah sampai di depan sanggar tari, dengan langkah mantap aku memasuki ruangan yang ku impi-impikan sejak aku kelas 7. “Nisa, kamu bisa nari?” Kata guru tari.
“Insya Allah Bu,”
“Coba….” Aku pun menari dengan penuh percaya diri. Karena ini adalah impianku sejak dulu. Setelah selesai menari, aku kembali diajak berbicara dengan guru tari.
“Nisa.. gini, sebenernya, gerakan tari kamu itu lebih luwes, tapi.. kamu ini kurang cantik.. maaf ya Nisa..”
“Iya Bu.”
Untuk kesekian kalinya aku gagal mengikuti lomba. Sudah dua tahun lebih aku mengalami ini. Ya.. alasannya banyak. Karena aku kurang cantiklah, kurang putih, kurang pinter, cengeng, dan masih banyak lagi. Pernah sekali aku benar-benar kecewa karena aku tidak jadi mengikuti jamnas hanya karena aku kurang tinggi. Padahal tinggiku sudah memenuhi standar dan ku juga sudah banyak mendapatkan lencana-lencana pramuka. Entah apa yang salah dari diriku sehingga guru-guru selalu memandangku sebelah mata. Terkadang aku bingung kenapa aku selalu diabaikan, selalu diacuhkan, selalu, selalu, selalu, dan selalu dianggap rendah. Padahal aku ini anak yang lumayan aktif di semua ekskul.
“Kepada Nisa 9-a, harap menuju ke lab ipa sekarang.” Lagi lagi sound system memanggilku.
“Semoga kali ini beruntung.” kalimat itu yang selalu terucap saat sound system memanggilku.
Saat sampai di lab ipa, sudah ada Ranty dan Isma di sana. Dia adalah teman sekelasku yang mendapat peringkat 1 dan 2 di kelasku. Saat aku datang, kita langsung diberikan soal untuk dikerjakan. Jelas ini adalah ujian untuk olimpiade. Aku mengerjakannya dengan santai walaupun sebenarnya kebingungan. Setelah dikoreksi, aku mendapat nilai tertinggi. Namun, “Nisa, di sini memang kamu yang mendapat nilai tertinggi. Tapi.. peringkatmu itu ketiga. Jadi kamu nggak bisa ikut.”
“Iya Pak.” Lagi lagi gagal. Baik, kata Pak Garun tadi peringkatku kurang, oke, aku akan belajar. Aku akan membuktikan pada mereka kalau aku bisa.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Akhirnya segala ujian telah rampung dijalani. Sekarang tinggal menunggu hasilnya. Dan hari inilah pengumumannya. Nyyiiit… bunyi mic yang dipegang kepala sekolah untuk berpidato. Setelah itu kepala sekolah memulai pidatonya dan dilanjutkan dengan pengumuman lulusan terbaik tahun ini.
“Baiklah, di sini saya akan mengumumkan peringkat lulusan terbaik dari urutan 3, 2, dan 1. Di urutan ketiga diraih oleh….. Isma Anindya.” semua tepuk tangan. “Urutan kedua diraih oleh.. Ranty Ramadhani.” kembali tepuk tangan. “Dan urutan pertama diraih oleh….. Annisa Fatkhurrohman.” tepuk tangan sangat meriah. “Kepada Annisa fatkhurrohman silahkan berpidato.” Dengan langkah tegang aku mendekati podium dan mulai berbicara.
“Assalamualaikum. Di sini, saya hanya bisa berterima kasih kepada orangtua saya yang telah mendoakan saya, kepada teman-teman saya. Dan juga kepada Tuhan yang telah memberi restunya hingga sekarang.”
Diriku,
Diriku yang kini telah mampu terbang
Terbang menyusul awan yang telah lama berada di awang-awang
Diriku,
Diriku yang telah lama diacuhkan, dibuang, dan diabaikan.
Kini telah membangun dirinya menjadi kokoh
Sekokoh gunung-gunung yang telah lama menancap di bumi ini
Diriku,
Diriku yang telah maju,
Tak akan pernah lagi kembali ke masa lalu
Mungkin hanya sedikit menengok dulu
Saat orang orang belum tahu siapa diriku
Lalu tepuk tangan meriah dibalut haru datang bergantian dari para hadirin yang datang. Perlahan aku turun dari podium, dan saat aku sampai di bawah, ucapan selamat dan pelukan dari teman-temanku menyambutku. Guru-guru menyalami dan memberi selamat padaku. Ya, kini mereka tahu, aku mampu.. dan mereka tahu siapa diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar